JAKARTA – Di tengah tantangan global untuk menanggulangi krisis lingkungan dan penurunan keanekaragaman hayati, Indonesia menonjolkan sistem konservasi berbasis budaya lokal yang dikenal dengan ICCA (Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Territories). Peluncuran Data ICCA Edisi Mei 2025 oleh Working Group ICCAs Indonesia (WGII) dalam acara yang berlangsung pada Rabu, 4 Juni 2025, di KALIA Restaurant, Jakarta Selatan menegaskan kembali komitmen terhadap perlindungan lingkungan melalui pendekatan berbasis komunitas.
Acara tersebut turut memperingati Hari Keanekaragaman Hayati Internasional, pada 22 Mei, yang mendorong kesadaran global akan perlunya langkah-langkah konkret untuk mempertahankan keanekaragaman hayati yang menjadi fondasi bagi kehidupan di bumi.
Pentingnya Sistem Konservasi ICCA di Indonesia
Sistem ICCA di Indonesia hingga Mei 2025 tercatat memiliki luas total 647.457,49 hektare yang tersebar di 293 komunitas. Dari jumlah tersebut, 264 merupakan masyarakat adat dan 29 komunitas lokal. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat lokal memegang peranan penting dalam konservasi lingkungan. Namun, terdapat potensi luas wilayah hingga 23,82 juta hektare yang belum diakui secara formal. Ini memberikan peluang untuk memperluas inisiatif konservasi dan meningkatkan perlindungan bagi flora dan fauna yang terancam punah.
“ICCA bukan hanya soal perlindungan lingkungan, tetapi juga punya makna mendalam dalam mendukung pengetahuan tradisional dan sistem sosial. Ini adalah warisan hidup yang perlu dijaga, bukan sekedar data statistik,” ujar Kasmita Widodo, Koordinator WGII. Dalam analisis spasial, 52 persen dari wilayah ICCA terletak di kawasan ekosistem yang bernilai tinggi, seperti taman keanekaragaman hayati, menegaskan signifikansi ekologis dari pendekatan ini. Selain itu, 64,5 persen wilayah ICCA masih berupa hutan alam, yang membuktikan efektifitas komunitas lokal dalam menjaga kelestarian hutan dari ancaman deforestasi.
Kolaborasi untuk Kebijakan Konservasi yang Lebih Baik
Pentingnya pengakuan terhadap ICCA di Indonesia juga sangat relevan dengan pencapaian target-target nasional yang tercantum dalam dokumen Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) serta target global dalam kerangka Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF). “Pengakuan formal terhadap ICCA dapat menjadi jembatan yang menghubungkan kebijakan konservasi dengan realitas sosial-ekologis yang ada,” jelas Ir. Inge Retnowati, M.E, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati.
Dalam diskusi ini, suara dari masyarakat lokal sangat berharga. Kynan Tegar, seorang pemuda adat Dayak Iban berbagi cerita tentang betapa pentingnya hutan bagi identitas komunitasnya. “Kami tidak menjaga hutan hanya untuk hari ini, tetapi untuk generasi di masa depan. Ini adalah warisan yang harus kita rawat,” tegasnya. Suara Kynan menjadi contoh nyata akan keterikatan antara budaya lokal dan pelestarian lingkungan.
Faktanya, advokasi dari masyarakat sipil juga muncul sebagai salah satu strategi yang esensial dalam mendorong perubahan kebijakan yang lebih baik. Farwiza Farhan dari Yayasan HAkA menyoroti pentingnya dukungan ini dalam memperjuangkan konstitusi yang lebih berpihak pada wilayah kelola oleh masyarakat. Selain itu, Mufti F. Barri dari Forest Watch Indonesia menekankan perlunya integrasi data untuk memperkuat tata kelola hutan yang berkelanjutan.
Diskusi yang berlangsung dari pukul 12.30 hingga 16.00 WIB ini menjadi medium interaksi yang mempertemukan berbagai pihak, mulai dari komunitas lokal, pemerintah, akademisi, hingga media. Dengan semangat kolaborasi yang kuat, WGII berupaya agar kebijakan konservasi di Indonesia semakin mengakui serta melibatkan masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai aktor utama dalam pelestarian lingkungan.
Kehadiran media di dalam forum ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat global tentang urgensi pengakuan ICCA, tidak hanya sebagai bentuk pelestarian alam, tetapi juga sebagai cara untuk menjaga keanekaragaman budaya dan kehidupan masyarakat yang berkesinambungan dengan alam.